Jumat, 29 April 2011

PENGUKURAN TEKANAN ARTERI PULMONALIS

PENGUKURAN TEKANAN ARTERI PULMONALIS

Konsep pengukuran tekanan kapiler arteri pulmonal telah dikenal sejak tahun 1950 dimana waktu itu dikerjakan di ruang kateterisasi jantung.
Sejalan dengan perkembangan dan aplikasi klinik pada tahun 1970 kateter arteri pulmonal dikembangkan oleh dua ahli yaitu Swan dan Ganz. Dengan kemajuan tersebut kateter arteri pulmonal dikembanghkan dari 2 lumen sampai 5 lumen ditambah dengan kawat pacu jantung dan optical kateter arteri pulmonal, sekarang dikenal dengan nama kateter arteri pulmonalis “Swan Ganz” dimana bisa dikerjakan ditempat tidur pasien tanpa bantuan Fluoroskopi.

A. Pengertian :
Suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler dengan cara invasif yaitu memasukan kateter ke dalam pembuluh arteri pulmonal melalui pembuluh darah vena besar

B. Tujuan
1. Menilai tekanan ventrikel kiri pada akhir diastolik secara langsung/LVEDP
2. Untuk evaluasi respon hemodinamik terhadap terapi cairan, pengobatan dan tindakan lainnya.
3. Mendapatkan tekanan sentral vaskuler yang akurat yang dihasilkan dari curah jantung yang rendah.
4. Mendapatkan sampel darah vena campuran dan pacu atrium kanan atau ventrikel kanan.
5. Untuk mengukur Curah jantung / C0.

C. INDIKASI:
1. Mengkaji fungsi kardiovaskuler dan respon terhadap pengobatan pada
pasien dengan :
a. Infark miokard yang bermasalah/komplikasi
b. Syock kardiogenik
c. Gagal jantung kongesti yang berat
d. Disfungsi ventrikel kanan akut
e. Tamponade jantung
f. Pemantauan perioperatif pada pembedahan jantung
2. Syock
3. Mengkaji keadaan pulmonal dan respon terhadap pengobatan pada pasien dengan:
a. Oedema paru
b. Gagal napas akut
c. Hipertensi pulmonal

D. Komplikasi :
1. Arrhytmia jantung
2. Balon pecah  Emboli udara
3. Kateter melintir,tersimpul.
4. Infeksi
5. Pneumotorak / Hemotorak, infark paru, ruptur arteri pulmonal, iskemik paru.
6. Tromboemboli
7. Tamponade jantung
8. Henti jantung.

E. DISAIN DAN JENIS KATETER
1. Ukuran untuk dewasa dan anak.
a. Panjang 60 - 110 cm
b. French : 4.0 – 8,0
c. Volume balon mengembang : 0,5-1,5 ml
d. Diameter balon : 8-13 mm
e. Material : Polyvinyl chloride dengan penyesuaian suhu ruangan dan suhu tubuh.
f. Shaft : Ada tanda/marker tiap 10 cm dengan tanda hitam

2. Macam-macam Kateter Arteri pulmonal.

a. Double lumens kateter arteri pulmonal
5F, 1 lumen untuk tekanan arteri pulmonal, 1 lumen untuk balon, balon mengembang 0,8 ml.

b. Quadruple lumen kateter thermodilusi
- Lumen Distal
Letak pada ujung kateter dan berfungsi untuk mengukur tekanan arteri serta dapat digunakan sebagai sarana pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan Laboratorium sesuai analisa gas vena campuran(mixed vein) . Biasanya kode warna kuning.
- Balon
Letak ( lokasi kurang 1 cm dari ujung kateter, balon dikembangkan dengan udara 0,5 – 1,5 ml ).
Jika balon dikembangkan maka didapatkan tekanan baji Arteri Pulmonal ( PCWP/Pulmonary Capilary Wedge Pressure ), dimana dengan mengembangkan balon dicabang arteri pulmonal tersebut menjadi tertutup oleh balon.
Tekanan PCWP ini dapat disamakan dengan tekanan atrium kiri dan ventrikel kiri pada akhir diastolik / LVEDP. Biasanya kode warna mera

- Lumen Termistor
Letaknya 4 - 6 cm dari lumen distal.
Berfungsi untuk mengukur suhu yamg digunakan pada saat pengukuran curah jantung.
Biasanya kode warna kuning dengan konektor merah.


- Lumen Proximal
Letak 30 cm dari ujung kateter, letaknya pada atrium kanan sehingga dapat mengukur tekanan sentral vena atau atrium kanan.Dapat digunakan untuk infus cairan IV atau pengobatan dan pengambilan darah.Biasanya kode warna biru.

c. Fiberoftic kateter thermodilusi.
Seperti standart kateter thermodilusi hanya ada tambahan 2 lumen fiberoftic dekat ujung kateter,berfungsi untuk memantau saturasi oxygen vena campuran / SVO2 secara terus menerus.

d. Pacu jantung kateter thermodilusi
Satu pacu kateter thermodilusi mempunyai 5 elektroda :
2 elektroda interventricular, letaknya 18.5 – 19.5 cm dari ujung kateter.
3 elektroda intraatrial, letaknya 28.5 – 31 dan 33.5 cm dari ujung kateter.
Kateter ini dapat dipakai untuk pacu atrium,ventrikel dan atrioventricular ( AV sequential ) dan juga dapat digunakan untuk mencatat irama intrakardiak.
Indikasi kateter ini digunakan pada pasien :
- Blok jantung derajat dua atau tiga.
- Keracunan digitalis.
- Bradicardi berat.
- IEKG / intrakardiak elektrokardiogram.
- Overdrive.

e. Ejeksi fraksi kateter thermodilusi.
Untuk kalkulasi akhir sistolik ventrikel kanan dan tekanan ventrikel kanan pada saat akhir diastolic ( RVEDP ).
Mempunyai 3 lumen :
- 2 elektroda intrakardiak: untuk RV dan PA.Sebagai sensing depolarisasi ventrikel.
- Multi lumen khusus.
- Respon thermistor yang cepat dalam waktu 50 ms ( sedangkan respon standart thermodilusi lainya 300 – 1000 ms ).

Gambal-gambar kateter thermodilusi








F. HUBUNGAN TEKANAN ATRIUM KANAN DAN ARTERI PULMONAL
SERTA EKG


GELOMBANG AKTIFITAS MEKANIK EKG
Tekanan RA
A Kontraksi RA PR interval
X Relaksasi RA
C Penutupan katup trikuspid QRS
V Pengisisan atrium pada saat sistol T wave
Y Aliran pasif RA

Tekanan PA
Systolic Sistolik RV ke PA Setelah QRS dekat Gel T
Diastolic LVED 0.08 “ setelah onset QRS (Tidak dipakai pada BBB)
Tekanan Baji
A Kontraksi LA Setelah PR Interval / Akhir komplek QRS
X Relaksasi LA
C Penutupan katup mitral QRS
V Pengisian atrium pada saat sistol TP interval
Y Aliran pasif LA



GAMBAR


















G. Bentuk gelombang tekanan dari ruang – ruang jantung saat pemasangan kateter arteri pulmonalis “ Swan Ganz “

Gambar











































H. LOKASI DAN CARA PEMASANGAN

a. Pemasangan kateter dapat dilakukan secara perkutan atau cutdown melalui vena besar yaitu : Vena Internal jugolaris, Vena subclavia,Vena antecubital atau Vena femoralis.

b. Jarak posisi RA, RV, PA dan BAJI.

Tempat penusukan RA RV PA BAJI Satuan
V.internal jugolaris kanan 15 25 40 45 cm
V.internal jugolaris kiri 20 30 45 50 cm
V.antecubital kanan 45 60 75 80 cm
V.antecubital kiri 50 65 80 85 cm
V.subclavia kanan 10 20 35 40 cm
V.subclavia kiri 15 25 45 50 cm



I. PERSIAPAN PEMASANGAN
1. Persiapan pasien.
a. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga mengenai tujuan pemasangan dan prosedur tindakan.
b. Membuat surat ijin tindakan.
c. Mengatur posisi pasien yang aman dan nyaman sesuai dengan daerah pemasangan.Bila memungkinkan pasien memakai masker.

2. Persiapan alat – alat.
a. Alat – alat khusus:
- Cairan bilas untuk tranduser ( Nacl 0.9 % 500 ml : heparin 500 iu ) dosis heparin 1 – 4 iu / ml.
- Cairan bilas untuk curah jantung / CO ( D5W 500 ml ).
- Infus set.
- Kantong tekanan.
- Disposibel tranduser ( triple ataau double tranducer )
- Penyangga tranducer
- Standart infus
- Manometer line
- Threeway stopcock
- Kateter arteri pulmonalis
- Introduce kit
- Monitor, modul, elektroda, kabel
- Pipa U / Water interface

b. Alat – alat untuk penusukan :
- Set instrumen steril
- Set alat tenun steril
- Sarung tangan steril
- Cairan antiseptik ( betadin cair 10 % )
- Obat anestesi local ( lidocain 2 % atau marcain 0.5 % )
- Spuit 1 ml, 2.5 ml, 5 ml, 10 ml
- Heparin
- Benang untuk jahit
- Kasa steril
- Plester

J. PROTOKOL PEMASANGAN
1. Jika kateter dimasukan dengan menggunakan fluoroskopi, ujung kateter harus selalu terlihat dan bergerak bebas ke kanan / kiri PA dan maju bergerak ke posisi baji dimana balon dikembangkan ( balon dikembangkan ketika kateter di RA )
2. Jika tanpa fluoroskopi maka setelah pemasangan dilakukan foto torak.

K. PROSEDUR
1. Persiapan pemasangan
1. Cek surat ijin tindakan .
2. Cek tanda-tanda vital dan EKG strip
3. Cek posisi elektroda dan yakinkan IV line kondisi baik dan posisi aman.
4. Persiapan disposibel triple atau duel tranducer atau sesuai kebutuhan bilas beserta tabung dan manometer line secara terpisah, yakinkan tidak ada udara.
5. Posisi pasien .
-Trendelenberg bila dari jugolaris atau subclavia jika memungkinkan.
-Bisa datar / supine dan beri ganjalan dibawah bahu.
6. Perhatikan tehnik aseptik untuk mengurangi resiko infeksi.
7. Bantu dokter untuk membilas masing – masing lumen kateter PA dan test / cek balon ( test balon dengan udara sesuai rekomendasi volume mengembang pada shaft kateter 0.5 – 1.5 ml, sekitar 3 % nya hasil pengembangan balon simetris ).

2. Pantau respon pasien selama pemasangan.
a. Pertahankan tehnik steril selama pemasangan.
- Kesalahan tehnik aseptik akan menyebabkan infeksi.
b. Monitor dysarrytmia ventrikel.
- Menyebabkan iritasi ventrikel.
c. Yakinkan sentral line memakai balutan.
- Untuk mengurangi resiko infeksi
d. Observasi gelombang dan catat tekanan.
Pengukuran tekanan pada akhir expirasi.
- Tekanan atrium kanan ( RAP atau CVP ) 0 – 8 mmHg.
Peningkatan RAP = kelebihan Volume , kegagalan ventrikel kanan, TS, TI, kegagalan ventrikel kiri atau konstriktif pericardis.

- Tekanan ventrikel kanan ( RVP )
Sistolik = 15 – 25 mmHg. Diastolik = 0 – 8 mmHg.
Peningkatan RVP: PH, Kegagalan ventrikel kanan, Konstriktif pericarditis, gagal jantung kongesti kronik, gagal jantung dengan depek septum,Hypoxia.

- Tekanan Arteri pulmonal ( PAP )
Sistolik = 15 – 25 mmHg, Diastolik = 6 – 12 mmHg,
Peningkatan PAP = pirau kiri ke kanan, Kegagalan ventrikel kiri, MS,MI

- Tekanan baji arteri pulmonal ( PAWP ) 4 – 12 mmHg.
Peningkatan PAWP = Kegagalan ventrikel kiri, MS,MI.

e. Pengembangan balon dengan menggunakan spuit 2.5 ml – 3 ml, kembangkan
balon secara perlahan dengan udara 1.5 ml, perhatikan gelombang PAWP.
-> Pengembangan balon di baji tidak boleh lebih 8 – 15 detik atau 2 - 4 kali respirasi.
f. Pengempisan balon secara pasif.
 Oleh karena pengempisan balon secara manual akan menyebabkan balon
pecah dini. Jika balon mengembang terus akan menyebabkan iskemik dan
nekrosis PA.
g. Semua tekanan harus dicatat pada posisi datar / supine atau posisi 0 – 45 derajat.
 Supaya konsisten.

3. Sistem perawatan dan hal-hal yang harus diperhatikan.
a. Monitor sistem hemodinamik secara terus menerus dan tidak ada udara. Yakinkan selalu tersambung,monitor alarm on setiap waktu.
 Mengurangi resiko infeksi dan emboli udara,mendapatkan tekanan yang akurat.
b. Beri tanda label dan ganti cairan tekanan,tube, dan stopcock setiap 72 jam / 3 hari. Kateter pulmonal dan introducer sheath diganti setiap 5 hari.
 Mengurangi resiko infeksi.
c. Pertahankan kantong tekanan 300 mmHg. Mencegah adanya pembekuan.
d. Jangan bilas kateter lebih dari 2 detik.
 Dapat menyebabkan ruptur PA dengan bilas yang lama dengan cairan tekanan tinggi.
e. Gunakan tehnik aseptik bilamana aspirasi atau bilas kateter.
 Mencegah kontaminasi bakteri.
f. Keluarkan darah dari kateter,tube,stopcock dan bilas sampai bersih.Darah sebagai media pertumbuhan bakteri.
 Dapat juga menyebabkan emboli di line.
g. Pertahankan pembungkus plastik kateter dalam keadaan steril dan plester tidak melampaui plastik.
 Rusak / sobek akan menyebabkan tidak steril.Membuat kateter longgar / leluasa untuk dimanipulasi.
h. Jangan memberikan infus lewat lumen kateter ( seperti darah, albumin )
-> Menimbulkan oklusi kateter,lumen kateter PA sangat kecil untuk darah dan akan merusak sel darah merah serta mengurangi efektifitas transfusi.
i. Kolaborasi data dengan tampilan hemodinamik dan pengkajian klinis pasien.
-> Yakinkan itu ada hubunganya.
j. Kaji sirkulasi extremitas.
-> Sirkulasi berkurang mungkin adanya jaringan yang iskemi.
k. .Pemberian obat – obatan hanya lewat lumen proximal,jangan menggunakan lumen distal atau lumen PA.
l. Jika ada tahanan yang kuat waktu pengembangan,balon jangan dikembangkan,laporkan pada dokter.
-> Mungkin balon pecah.
m. Jika udara bebas mengalir ( tanpa tahanan ) atau jika darah naik, spuit dilepas dan tutup lumen.Beri tanda atau label dan tulis serta tandatangan “ jangan injeksi udara “
 Mungkin balon pecah.
n. Jika balon keadaan kempis dan didapatkan kateter PA pada posisi baji,anjurkan pasien untuk menarik napas panjang dan batuk atau reposisi / rubah posisi pasien,laporkan segera ke dokter untuk reposisi kateter dengan menarik kateter secara perlahan,kemudian cek foto torak untuk konfirmasi posisi penempatan.Jangan lakukan bilas.
o. Jangan membilas kateter bilamana posisi baji.
-> Menyebabkan balon pecah.
p. Jika kemungkinan posisi baji / kateter migrasi,segera lapor ke dokter.
Bahaya bisa menyebabkan pecah arteri pulmonal.
Hanya dokter yang merubah posisi kateter.
q. Jika pasien batuk dan keluar darah,atau waktu disuction via
endotracheal tube,mungkin ruptur PA dan lapor ke dokter
r. Set waktu alarm, sekitar 20 mmHg diatas atau dibawah tekanan pasien


4. Aspirasi sampel darah vena campuran dari lumen distal waktu balon kempis.
 Gas darah vena campuran biasanya bersamaan dengan darah arteri untuk kalkulasi shunt fraksi.
a. Sambungkan spuit 5 ml ke stopcock pada distal lumen kateter PA.
b. Buka stopcock ke arah spuit dan aspirasi 5 ml sampai bersih dari cairan bilas. ( 1 ml / 20 detik ).
c. Tutup stopcock setengahnya ; lepas spuit dan buang.
d. Sambungkan spuit 2.5 ml untuk gas darah pada stopcock dan aspirasi secara perlahan,sampel darah sebanyak 2 ml, beri label pada sampel darah tersebut.
-> Untuk mendapatkan hasil yang akurat.
e. Bilas lumen tersebut dengan cairan irigasi sampai darah bersih serta stopcock ditutup kembali dengan penutupnya.



5. Membantu pencabutan kateter.
 Yang mencabut kateter PA adalah dokter.

a. Jelaskan pada pasien.
b. Posisi pasien datar / supine atau sedikit trendelenberg.
c. Tutup sistem bilas tekanan ke pasien,tidak disambungkan dengan monitor.
 Untuk mencegah pasien dari emboli.
d. Observasi tanda – tanda vital.
e. Pantau dysrritmia selama dokter mencabut kateter.
f. Tekan luka fungsi sampai perdarahan berhenti.
g. Tutup dengan kassa steril dan plester.
h. Cek tempat tusukan / fungsi dan extremitas secara teratur.
Untuk menilaiadanya komplikasi perdarahan atau emboli.

L. CARA MELAKUKAN BALANS NOL DAN KALIBRASI.

1. Balans Nol
a. Laveling ( mensejajarkan letak jantung / atrium dengan skala pengukuran atau tranducer ).
b. Balans nol dikerjakan setiap penggantian dinas atau jika nilai atau gelombang yang terlihat pada monitor tidak sesuai dengan keadaan klinis pasien serta setiap ada perubahan posisi pasien.
c. Posisi pasien bisa datar / supine atau sampai dengan 45 derajat.
d. Tentukan titik nol pasien dengan cara membuat garis pertemuan antara garis yang dibuat dari sela iga ke empat dengan pertengahan aksila.Titik nol tersebut kemudian disejajarkan dengan tranducer dengan memakai pipa U / water interface.


2. Kalibrasi
a. Tujuan kalibrasi untuk mengetahui fungsi alat seperti monitor atau tranducer.
Dilakukan sebelum pemasangan,setiap penggantian dinas dan jika ada keraguan pada nilai atau gelombang yang terlihat pada monitor.
b. Tutup threeway ke arah pasien dan buka threeway ke arah udara.
c. Bilas / mengeluarkan cairan ke arah udara.
d. Menekan tombol kalibrasi sampai monitor terlihat angka nol.
e. Membuka threeway ke arah pasien dan menutup kembali ke arah udara.
f. Memastikan gelombang dan nilai terbaca dengan baik.

Gambar




M. IDENTIFIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH MONITORING

1. Penghitungan tekanan tidak sesuai dengan kondisi pasien.
g. Perubahan posisi.
- Jika titik nol atau laveling tidak sesuai dengan pertengahan dada akan mengakibatkan penghitungan yang salah.Setiap 1 inch pressure tranducer dibawah kateter PA akan mengakibatkan kesalahan penghitungan diatas 2 mmHg. Dan penurunan 2 mmHg bila pressure tranducer diatas pertengahan dada.
 Lakukan laveling dan zero.
h. Ketidak akuratan skala tekanan.
- Pemakaian disesuaikan dengan tekanan yang didapat dari pasien.
Missal: Skala dan amplifier diset untuk RA 20 mmHg, PA 40 mmHg atau pakai lebih tinggi jika ada PH.
 Untuk meyakinkan keakuratan pengukuran hemodinamik.
Prinsip yang sangat penting yang harus diingat adalah setting,zero dan kalibrasi sistem monitor.
i. Tidak dapat mengukur tekanan baji
- Jika dengan mengembangkan balon tekanan baji tidak ada,mungkin balon pecah atau kateter tertarik ke PA atau RV.
 Lakukan foto toraxk untuk melihat lokasi.
- Jika balon belum pecah,kembangkan lalu dorong ke cabang kanan/kiri arteri pulmonal sampai ada gelombang baji (oleh dokter ).
j. Gelombang dumping arteri pulmonal.
Cari penyebabnya :
- Ada udara ditube
- Darah beku dikateter atau dalam lumen kateter.
Ini terjadi oleh karena tekanan cairan bilas kurang dari 300 mmHg.
- Melintir ,tersimpul pada kateter atau tube.
- Sambungan yang lepas atau ada kebocoran sedikit pada sistem.
- Spontan kateter migrasi ke posisi dekat baji
- Skala yang salah pada amplifier setting.
Misal: Monitor tekanan arteri pulmonal menggunakan skala tekanan
200 mmHg sehingga menampilkan gambar yang dumping.
- Lepasnya tranducer atau ada udara didalam dome.
k. Tidak ada gelombang.
Kemungkinan disebabkan :
- Tranducer arteri pulmonalis kemungkinan salah menyambung ke monitor.
- Tranduser rusak.
- Adanya kebocoran yang besar pada sistem ( darah mungkin akan keluar dari kateter ).
- Tranducer lepas dari dome atau ada udara di dalam dome.
- Stopcock diputar pada posisi yang salah.
- Amplifier dalam keadaan zero atau off.
- Ada bekuan pada lumen ujung kateterl.
- Tidak efektifnya sambungan kabel tranducer tekanan ke monitor / amplifier.
- Kateter melintir.
2. Sistematika pemecahan masalah.
a. Kantong tekanan cairan bilas harus selalu dicek,untuk tekanan inflasi yang adekuat adalah 300 mmHg. ( bilas 3 ml/jam,cairan bilas adalah Nacl 0.9% 500 ml : heparin 500 iu ,atau dosis heparin 1 – 4 iu / ml ).
b. Jika ada udara atau darah ditube.
Keluarkan udara dan darah dengan memakai spuit sampai terlihat bersih dan tidak ada udara ditube,tube tersebut kemudian dibilas dengan cairan irigasi.
c. Jika ada udara atau darah didome tranduser,dome harus bebas/bersih dari udara/darah.
d. Jika diaspirasi atau dibilas tidak ada gelombang,kemungkinan ujung kateter berada pada dinding pembuluh darah. Rubah posisi pasien ke kanan/kiri atau suruh batuk,diharapkan ujung kateter lepas dari dinding pembuluh darah. Jika secara spontan masuk baji,tarik kateter secara perlahan sampai terlihat gelombang baji apabila balon dikembangkan.
e. Jika kateter melintir atau tersimpul didalam jantung,diperlukan fluoroskopi untuk memanipulasi kateter.Kateter melintir harus dikeluarkan lewat transvena atau bedah.
f. Jika ada kebocoran cairan pada komponen sistem monitoring. Cek sambungan kabel dan tranduser ( bila perlu diganti dengan yang baru ).
g. Jika masalah pada monitor,maka harus ditest dan bila perlu diganti dengan yang lain.






















DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Darovic G O. Hemodynamic Invasive and Non Invasive Clinical Aplication. Third Edition. WB Saunder Company Philadelpia .2002
2. Lynn D J , Mc Hale, Carlson K.K. American Association of Critical Care Nurses Procedure Manual for Critical Care.Fourth Edition. 2001.
3. Nurse B, Document Pulmonary Artery Pressure Monitoring ,Internet Last Up Date 07/14/2000.
4. Wood S.L,Floericher E.S.S, Motzer S.U. Cardiac nursing Fourth Edition . Lippincott 2000.

ELEKTROFISIOLOGI

ELEKTROFISIOLOGI

PENGERTIAN

Elektrofisiologi ( EP ) study adalah suatu cara pemeriksan khusus yang menempatkan elektroda – elektroda di dalam ruangan jantung pada posisi tertentu untuk menentukan kelainan listrik jantung dengan melakukan rekaman aktifitas listrik jantung.

TUJUAN

Untuk menentukan jenis, letak dan mekanisme gangguan irama jantung, dengan demikian dapat ditentukan jenis penatalaksanaanya.

PERAN

- Mencatat aktifitas listrik jantung intrakardiak dengan bantuan beberapa elektroda yang dimasukan kedalam ruang jantung melalui pembuluh vena.
- Melakukan pacuan listrik arus lemah pada jantung melalui elektroda tersebut, untuk mengetahui perangai sistem konduksi listrik jantung serta mencetuskan gangguan irama jantung sehingga mekanismenya dapat diketahui.

INDIKASI PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI

1. AV Blok
2. Takikardia QRS lebar ( QRS > 0.12 sec )
3. Sinoatrial Node ( SA Node ) disfungsi
4. Sincope yang tidak jelas
5. Cardiac Arrest survivors
6. Takikardia QRS sempit
7. WPW ( Wolf-Parkinson-White Syndrome )
8. Chronic Interventrikular Chronic Delay ( IVCD )
9. Prolong QT Syndrome
10. Ventricular Premature Complex
11. Palpitasi yang tidak jelas
12. Drug Therapy
13. Kandidat untuk Implantable Elektrical Devices
14. Kandidat untuk Therapy Ablasi

KONTRA INDIKASI

1. UAP ( Unstable Angina Pectoris )
2. CHF tidak terkontrol
3. Perdarahan
4. Pasen tidak koperatif
5. Valvular atau Subvalvular Aorta Stenosis ( melalui Ventrikel kiri / LV )
6. Thrombophlebitis ( femoral )
7. Amputasi kedua paha ( femoral )
8. Infeksi pubis ( femoral )

Jumat, 15 April 2011

Ablasi Frekuensi Radio Pada Fibrilasi Atrium Paroksismal


NAMA NERS           : NANANG RAHARJA

UNIT / LEVEL        : Diagnostik Invasif & Intervensi Non Bedah / Competent.

TGL / BLN / THN   : 15 April 2011

JUDUL                     : Ablasi Frekuensi Radio Pada Fibrilasi Atrium Paroksismal

NAMA PENELITI & SUMBER JURNAL / THN :

Yoga Yuniadi, Rahadian Adhantoro, M Munawar.
Sumber jurnal : Jurnal Kardiolagi Indonesia. Vol. 28, No. 5. September 2007.


ABSTRAK              


Fibrilasi atrium (Atrial Fibrilation, AF) umumnya mudah dikenali karena laju QRS yang ireguler dan gelombang P yang mengalami osilasi cepat atau gelombang fibrillatorik yang bervariasi amplitudo, dan bentuknya. Para ahli membagi AF menjadi 3 yaitu: paroksismal, persisten,dan permanen. AF paroksismal didefinisikan sebagai AF berulang (2 episode) yang berhenti spontan dalam waktu 7 hari. AF persisten didefinisikan sebagai AF yang terus menerus selama 7 hari atau kurang dari 7 hari, dan hanya berhenti dengan terapi anti aritmia atau kardioversi, sedangkan AF permanen berlangsung terus menerus selama lebih dari 1 tahun atau bahkan tidak dapat kembali ke irama sinus.
Berkembangnya tehnik dan keberhasilan ablasi frekuensi radio pada AF telah merubah definisi dan klasifikasi AF. AF permanen saat ini lebih sering disebut sebagai long – standing persistent AF, karena ternyata dapat dijadikan irama sinus dengan ablasi. Pada ablasi AF isolasi vena pulmonalis dilakukan didaerah antrum agar tidak menimbulkan stenosis vena pulmonalis. Ablasi dengan teknik konvensional dengan target 1 cm diluar katetre laso yang diletakan di ostial vena pulmonalis menimbulkan komplikasi vena pulmonalis hingga 20%. Walaupun pada sebagian besar kasus, stenosis vena pulmonalis asimtomatik, tetapi pada sebagian kecil diperlukan tindakan stenting.
Saat ini, dengan tersedianya sistem pemetaan tiga dimensi (3D) elektroanatominal, lokasi antrum maupun lokasi lain dijantung dapat ditentukan secara tepat dengan akurasi hingga 1 mm.Teknik yang saat ini dilakukan berupa isolasi seluruh vena pulmonalis, ditambah dengan ablasi linier diatap atrium kiri, isthmus mitral dan complex fractionated atrial electogram (CFAE) menunjukan dikembangkan atas dasar pemahaman yang makin baik terhadap mekanisme AF. Nademane dkk melakukan ablasi dengan target CFAE dan melaporkan tingkat keberhasilan konversi ke irama sinus sebesar 95%, dan pada masa pengamatan 1 tahun 91% pasen tetap dalam irama sinus. Istilah pendekatan stepwise diperkenalkan pada ablasi AF, yaitu dimulai dengan isolasi vena pulmonalis, lalu dilanjutkan dengan ablasi linier di atap atrium kiri, lalu diteruskan dengan ablasi linier di septum, isolasi vena kava superior dan ablasi CFAE.




LATAR BELAKANG


Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemukan dalam praktek klinis, meliputi sepertiga dari perawatan gangguan irama jantung. Diperkirakan prevalensi AF 0,4% hingga 1% dari populasi umum, yang meningkat dengan bertambahnya umur. Selama 20 tahun terakhir, terjadi 66% peningkatan angka perawatan rumah sakit oleh karena AF yang berkaitan dengan factor umur dan prevalensi penyakit jantung kronis. AF juga dapat terjadi pada pasien tanpa penyakit jantung structural (lone AF). Berdasarkan studi pada populasi, kejadian lone AF berkisar antara 12 hingga 30% dari seluruh kasus AF. AF meningkatkan risiko stroke 4 – 5 kali pada seluruh kelompok umur.
            Prinsip tatalaksana AF meliputi rate control, rhythm control, dan pencegahan thromboemboli. Para ahli tetap beranggapan bahwa , konversi dan mempertahankan irama sinus lebih baik dalam hal peningkatan kualitas hidup, pengurangan risiko stroke dan gagal jantung, serta peningkatan survival. Makin berkembangnya tehnik dan makin tingginya tingkat keberhasilan ablasi melahirkan suatu konsensus baru tatalaksana AF. Ablasi frekuensi radio (AFR) saat ini diindikasikan bagi pasen AF simtomtik yang gagal dengan terapi antiaritmia tunggal.


METODOLOGI


Ilustrasi  Kasus

Seorang laki-laki usia 58 tahun datang dengan keluhan palpitasi sejak 1,5 tahun terakhir. Keluhan hilang timbul, dengan frekuensi yang makin sering. Selama ini mendapat terapi aspilet, irbesartan, digoxin dan amiodaron. Tidak terdapat riwayat tromboemboli. Faktor risiko PJK meliputi: hipertensi, merokok, riwayat keluarga, overweight,dan dislipidemia. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. EKG: AF, QRS rate 80 x/mnt, QRS axis normal, QRS durasi 80 mdet, tanpa perubahan ST-T. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukan dimensi ruang jantung normal, global normokinetik, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) 67%, kontraktilitas RV baik, terdapat relaksasi abnormal, terlihat regurgitasi mitral ringan dan trikuspid minimal. Tidak tampak thrombus. Temuan laboratorium dalam batas normal. Pasien didiagnosis sebagai AF paroksismal yang simtomatik, dan direncanakan pulmonary vein isolation dengan teknik pemetaan elektroanatomi 3 dimensi.
  
Ablasi Frekuensi Radio

Pasien masuk ke ruang elektrofisiologi dengan AF yang persisten lebih dari 24 jam. Dilakukan kanulasi sinus koronarius dengan kateter elektroda dekapolar melalui vena jugularis interna kanan. Posisi kateter di dalam sinus koronarius dikonfirmasi dengan injeksi zat kontras melalui lumen tengah kateter. Pole proksimal diletakan pada ostial sinus koronarius.Melalui vena femoralis kanan kemudian dilakukan pungsi transeptal dua kali dan sheath panjang ukuran 8F dan 8.5F dimasukan hingga atrium kiri. Letak keempat vena pulmonalis divisualisasi dengan menyemprotkan zat kontras di muara vena pulmonalis kiri dan kanan. Setelah itu dilakukan pemetaan elektroanatomikal melalui system Carto. Kateter Navistar digerakan diseluas mungkin permukaan endokardium atrium kiri sehingga membentuk geometri virtual.
            Teknik ablasi dilakukan dengan pendekatan stepwise, pertama dilakukan isolasi vena pulmonalis kiri dengan ablasi linier memekai kateter irigasi Navistar didaerah antrum lalu dilanjutkan dengan antrum kanan. Pada waktu dilakukan ablasi linier diaspek superior antrum vena pulmonalis kanan superior, irama AF berubah menjadi irama sinus. Isolasi vena pulmonalis yang sempurna dikonfirmasi dengan cara mamasukan kateter Laso ke dalam keempat vena pulmonalis, lalu diliht keberadaan potensial vena pulmonalis yang masih terhubung dengan potensial atrium. Pada kasus ini keempat vena pulmonalis telah terisolasi secara sempurna.

Masa Pengamatan

Pasien masih diberikan antikoagulan (warfarin) dengan target INR 2 – 2,5 hingga 3 minggu pasca ablasi. Dalam pengamatan selama 4 bulan pasen masih tetap dalam irama sinus. Obat antiaritmia (amiodaron) telah dihentikan pada bulan ke 3 pasca ablasi.


KESIMPULAN

  1. Saat ini, dengan tersedianya sistem pemetaan tiga dimensi (3D) lektroanatomikal,     lokasi antrum maupun lokasi lain dijantung dapat ditentukan secara tepat dengan akurasi hingga 1 mm.
  2. Sistem pemetaan elektroanatomikal  CARTO merupakan salah satu sistem pemetaan 3D yang saat ini banyak digunakan.
  3. Dengan akurasi yang tinggi dalam menentukan lokasi tertentu di jantung, maka alat ini sangat bermanfaat untuk ablasi aritmia yang kompleks.
  4. Dengan teknik pemetaan 3D, tingkat keberhasilan ablasi AF meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, di negara maju standar ablasi AF menggunakan sistem pemetaan 3D.
  5. Telah disajikan satu contoh kasus paroksismal AF simtomatik yang refrakter terhadap obat antiaritmik, kemudian berhasil diablasi memakai sistem CARTO. Ablasi AF paroksismal aman, feasible dan efektif.








SARAN


  1. Kelompok kerja AF menyarankan suatu strategi antikoaagulan pasca ablasi, untuk mencegah stroke. Warfarin disarankan tetap diberikan hingga 2 bulan pasca ablasi, kecuali pada pasen dengan risiko tromboemboli yang tinggi ( skore CHADS = 2), maka warfarin dapat diteruskan.
  2. Secara umum ditekankan bahwa, ablasi bukan merupakan terapi pilihan pertama karena tingkat kesulitan yang tinggi dan efek samping yang masih bermakna (2- 6%). Calkins berharap bahwa dalam lima tahun mendatang, ablasi AF akan memberikan tingkat keberhasilan lebih dari 90% dengan komplikasi kurang dari 1%.